Duh ... konten negatif bertebaran di internet tapi kalau sama sekali enggak kasih gawai ke anak kok belum bisa. Di sini orang tua memegang peran penting agar anak mendapat konten digital yang tepat dengan memilahnya. Apa yang perlu dilakukan untuk memilah konten ramah anak? Berikut rangkuman Webinar Jakarta SOLID bersama JakWiFi.
Kamis, 20 Juli 2023 lalu menjadi hari istimewa buat saya karena didapuk berbagi materi di acara Webinar Jakarta SOLID (Sadar Olah Literasi Digital) dengan judul "Konten Digital Ramah untuk Anak". Tak hanya sebagai pemateri, saya belajar banyak dari narasumber lain yaitu Afriyani Rahmawati dari Yayasan SEJIWA, yang membahas "Pentingnya Konten Digital yang Sesuai untuk Anak." juga para peserta yang sebagian besar merupakan pelajar SMP di Jakarta. Totalnya 400+ peserta di Zoom dan 1200+ di live streaming YouTube, masya Allah.
Nitip pajang sini, ya, suatu kehormatan bisa berbagi di acara Jakarta SOLID |
Aturan Screen Time Rekomendasi WHO untuk Usia 0-18 Tahun
Mbak Afri mengingatkan mengenai batasan usia penggunaan media digital untuk anak berdasarkan WHO, yaitu:
- Usia 0-1,5 tahun tidak menggunakan gawai sama sekali kecuali untuk video call (misal dengan kakek nenek yang tinggal berjauhan, kangen cucu...)
- Usia 2-5 tahun maksimal 1 jam sehari menyaksikan program berkualitas dan didampingi orangtua.
- Usia 6-12 tahun maksimal 2 jam sehari menyaksikan program berkualitas dan didampingi orangtua dengan metode peminjaman. (1 HP dipakai orang tua dan anak)
- 13-15 tahun maksimal 3 jam sehari dengan metode dipinjamkan HP orang tua, dipasangkan parental control. (Anak menggunakan gawai terpisah dari gawai orang tua tetapi statusnya itu milik orang tua yang dipinjamkan ke anak)
- 16-18 tahun maksimal 4 jam sehari dengan metode dipinjamkan HP orangtua dan dipasangkan parental control. (Anak menggunakan gawai terpisah dari gawai orang tua tetapi statusnya itu milik orang tua yang dipinjamkan ke anak)
Panduan screen time untuk anak |
Bahaya Dunia Digital
Selain itu, yang mengkhawatirkan ketika Mbak Afri memberikan contoh bahaya digital yang rawan dialami seperti:
- Grooming Online: Proses menjalin serta membangun sebuah hubungan dengan seseorang secara online untuk tujuan pemenuhan kebutuhan seksual seseorang.
- Sexting: Kegiatan mengirim pesan yang dilakukan secara online, baik berupa kata-kata, gambar, ataupun video dengan unsur-unsur seksual. Mengirim emoticon terong, cipratan air 3 itu ternyata mengarah ke sexting. Astaghfirullah, bisa saja si korban tidak merasa begitu, hanya mengikuti arahan pelaku.
- Pemerasan Seksual: Memaksa seseorang dengan menggunakan gambar/video korban (misalnya: video atau foto tanpa busana), untuk pemenuhan kebutuhan seksual ataupun materil pelaku. Foto atau video ini belum tentu nyata, bisa saja hasil rekayasa.
- Live Streaming: Siaran langsung kekerasan seksual. Adanya paksaan untuk melakukan aktivitas seksual jarak jauh.
Peran Orang Tua Seperti Menyuapi Ikan Goreng ke Anak
Anak saya suka banget makan ikan goreng. Saat baru matang, baru disajikan di meja, ia sudah mengambil sendiri. Karena anak masih balita, saya perlu membantunya memilah antara daging dengan duri ikan. Saya khawatir duri ikan masuk mulut bahkan membuat tersedak.
Sama halnya ketika memberi gawai ke anak. Gawai dapat menjadi sumber belajar namun di dalamnya terdapat konten negatif. Konten negatif berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Traksaksi Elektronik (UU ITE) adalah:
- penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA,
- melanggar kesusilaan dan perjudian,
- penghinaan atau pencemaran nama baik,
- pemerasan dan/atau pengancaman,
- penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian.
Apakah anakmu salah satunya? |
Pada sesi kedua ini, saya membahas "Peran Orang Tua agar Anak Mendapat Konten Digital yang Tepat.". Manfaatnya banyak, lho, dengan memilah konten yang tepat untuk anak, antara lain:
- Melindungi dari konten yang tidak pantas atau tidak sesuai usia anak.
- Berpikir kritis (anak belajar memilah mana konten yang benar, salah, atau bias)
- Menggunakan teknologi untuk belajar
- Menjaga keamanan dan privasi
- Memperkuat ikatan keluarga (bonding)
- Membentuk kebiasaan digital yang sehat karena anak bakal hidup di dunia yang semakin digital sehingga kita perlu membangun pondasi yang kuat bagi dirinya.
Do's and Don'ts memilah konten anak |
Budaya Sensor Mandiri adalah sebuah gerakan penumbuhan budaya dalam masyarakat agar mampu memilah dan memilih tontonan sesuai dengan kategori usia.
Penutup
foto bersama narasumber, moderator, dan penanya terbaik |
Nah ini kekhawatiran saya. Sejak pandemi dan harus sekolah online, bubar sudah program tidak ada HP untuk anak-anak 🙄. Sekarang pun susah mau ditarik HP yang dipinjamkan ke anak. Alasan mereka di sekolah, suka dikasih tugas yang mengharuskan penggunaan HP. Jadi bingung. Maunya sih, guru juga aware soal ini ya. Kalau mau pakai HP dijadwalkan dulu. Jadi anak-anak tidak bawa HP ke sekolah setiap jari. Hanya saat di jadwalkan saja
ReplyDeletepandemi memang jadi kondisi istimewa dimana selama ini orang tua batasi penggunaan gawai untuk anak eh malah kudu sekolah online.
DeleteKoordinasi guru-orang tua tentang penggunaan gawai di rumah maupun sekolah bisa jadi solusi yah supaya enggak sampai mengganggu aktivitas belajar.
ulasannya menarik nih kak Helena, tak dimungkiri internet itu seperti pisau bermata dua. dan saya setuju banget bagaimanapun internet itu hanya alat, dan kitalah yang punya kendali, harus bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakannya. btw saya baru tahu nih kalo aturan screen time untuk anak usia 16-18 juga harus menggunakan parental control dan tak lebih dari 4 jam per hari. berbanding terbalik dengan fakta sehari2 hehe. thx for share kak Helana.
ReplyDeleteMbak Helena, aku sekali perumpanan internet seperti ikan goreng. Tanpa sadar sekeliling kita banyak sekali yang membiarkan anaknya memakan duri-duri ikan huhu. U are so awesome mbak masyaallah bisa jadi narsum di situ!
ReplyDeleteSaya juga cukup menyayangkan banyak anak-anak di bawah usia 13 tahun yang dibawa orang tuanya nonton Barbie. Karena mungkin sudah identik kalau barbie adalah mainan anak-anak. Tapi tentunya ketika adaptasi ke karya dalam bentuk lain, seharusnya aspek lain juga dilihat dan ditinjau seperti soal klasifikasi usia.
ReplyDeleteMba aku tuh meragu sekali dg rekomendasi WHO mengenai screen time pada anak usia 2-5 tahun, sangat tidak memungkinkan buat aku membatasi hanya 1 jam perhari.
ReplyDeleteSelamat yah mba ikut senang mba bisa jd narasumber diacara ini, bisa lah ini jd undangan event berikutnya lagi 😉
MasyaAllah, pemaparannya jelas dan lugas sekali bun. Ini juga yang jadi kekhawatiran saya kalau kerja di luar. Oke, sekarang anak masih kecil, emaknya juga masih full time di rumah. Tapi kalau suatu saat saya kerja di luar, terus anak mulai sekolah, pasti lingkungan akan membawa efek buat dia. Ya syukur kalau efek yang dibawa itu baik. Kalau justru efek buruk? Wah, ngeri sekali membayangkannya...
ReplyDeleteBudaya Sensor Mandiri ini yang sepertinya memang perlu sekali diajarkan sejak awal. Karena kita tidak bisa selamanya mengawasi anak-anak...
Pengawasan memang menjadi salah satu faktor kunci. Sayangnya, masih ada beberapa orangtua yang mengabaikan. Malah menganggap gadget adalah benda yang aman karena bisa bikin anak jadi anteng. Padahal anteng belum tentu aman, kan.
ReplyDeleteAku termasuk yang sangat membatasi gadget sih ke anak-anak. Biarlah mereka kudet tapi paling nggak mengurangi terpapar konten-konten yang tidak berfaedah. Cuma sekarang memang mulai memberikan jatah screen time ke anak-anak dengan parental control. Jadi ketahuan apa yang ditonton dan berapa lama durasinya.
ReplyDeleteEtapi mas Deniz kan sekarang udah 13 tahun ya dan menurut aturan mbak Google dia udah gak masuk ke dalam parental control lagi lho. Akhirnya umurnya aku turunin lagi. hihihi.
Dunia digital ini memang sangat sangat luas sekali ya..
ReplyDeleteSekalinya dimanfaatkan ke arah yang buruk, jadinya naudzubillahi min dzalik. Semoga dengan pengawasan orangtua baik dari dengan siapa ia berteman ditambah penguatan karakter dari keluarga, anak-anak bisa tumbuh sehat sesuai dengan kebutuhan dan penggunaan internet positif.
Iya ya Mba, gawai dan internet untuk anak ini memang jadi PR jangan sampai melenakan kita sebagai orangtua. Bahkan saya pun baru tahu arti kode emoticon terong dan air itu ternyata mengarah ke hal negatif :-( Semoga bisa selalu mendampingi anak-anak berinternet sehat dan kaya manfaat..
ReplyDeleteFilosofi Ikan Goreng ini cocok banget menjadi istilah dalam mengedukasi anak-anak dalam pemanfaatan internet. Mereka yang masih belum tahu baik buruk soal internet juga harus diajari dan dibimbing agar pemanfaatan internet memiliki dampak yang positif dalam perkembangan anak.
ReplyDeleteKEREN BISA JADI PEMATERI, MBAK!
ReplyDeleteSebagai sesama orangtua, saya juga khawatir dan dilematis banget dengan pengaruh gawai dalam kehidupan anak kelak. Kalau parental control gitu, kira-kira akan membuat anak merasa terlalu diintervensi nggak ya? Takut malah membuat hubungan dengan anak jadi renggang dan canggung.
Anak anak sekarang itu termasuk generasi alpha ya mbak
ReplyDeleteMemang g bisa dipisahkan dari digitalisasi
Hanya memang tugas ortu adalah memilihkan konten digital yang sesuai untuk anak