Dua pekan yang panjang untuk memahami masalah bersama tim. Rasanya seperti sedang mengerjakan skripsi bab pertama. Kali ini, saya tidak membahas hasil diskusi dengan tim SUHERO tetapi lebih ke behind the scene dan insight yang saya pribadi dapat pada jurnal materi ketiga di Kampus Ibu Pembaharu.
Baca juga jurnal 1 dan 2:
Metode Starbursting 5W dan 1H
Alhamdulillah selama dua pekan terakhir kami berdiskusi 3 kali. Rasanya kurang, maunya tiap hari karena topiknya membuat mata berbinar-binar. Hahay!
Pada diskusi pertama, kami membuat bintang david dengan enam sudut. Di tiap sudutnya disematkan pertanyaan yang meliputi what, when, where, why, who, and how. Boleh sebanyak-banyaknya, minimal 3 pertanyaan.
Banyak pertanyaan muncul dari diskusi kami malam itu termasuk SID juga menyuarakan idenya. Masya Allah, ia dapat menyusun kalimat tanya dengan benar dan mudah dimengerti. Bahkan tadi dia masih meminta saya menuliskan ide pertanyaan baru yang ia dapat yaitu "Bagaimana mendidik anak usia dini?".
Tak hanya bertanya, ia pun memberikan jawaban ketika kami sampai di tahap menjawab 5W+1H tersebut. Diskusi yang serius, semoga bermanfaat ya untuk tahun-tahun mendatang dalam hidupmu.
Saya gunakan karton yang ditempel di pintu karena tidak mendapat kertas flip chart (padahal mau hemat, ye). Hal ini punya sisi positif karena terkadang ide muncul saat memandangi bintang tersebut. Berhubung tempatnya di ruang keluarga yang sering dilewati, tiap melihatnya jadi berpikir apalagi pertanyaannya.
Pengalaman ayah di bidang pendidikan membuat saya memandang starbursting dengan lebih jelas. Ini keterampilan proses. Terima kasih, ya, Ayah mau mendengarkan uneg-unegku dan turut berdiskusi.
By the way, enaknya setim dengan keluarga itu bisa diskusi di mana saja. Enggak online melulu. Kadang di rumah, kadang di taman sambil menunggu anak-anak bermain.
Tantangannya, kelola waktu supaya tidak terus-menerus membahas topik tersebut. Jangan sampai mengganggu tanggung jawab yang lain.
Oh ya, tantangan juga waktu mencari narasumber ahli. Ada satu dosen yang bukunya menarik. Googling mengenai dosen tersebut sampai japri teman yang tinggalnya se-kota untuk mencari kontaknya. Alhamdulillah teman saya, Mbak Nufazee, ternyata alumni perguruan tinggi dimana dosen tersebut mengajar. Dalam hitungan jam, saya sudah mendapat kontak Whatsapp-nya tapi ... saat menghubungi beliau hanya di-read. *nyesek
OK, belok kanan, cari jalan lain. Alhamdulillah ada teman blogger yang menjadi narasumber pada seminar pendidikan nasional. Beliau concern dengan PAUD dan juga menjadi praktisi pendidikan anak karena mengasuh 6 anaknya, masya Allah. Terima kasih Mbak Sri Widiyastuti, M.Pd atas waktu dan jawabannya dari rasa penasaran kami.
By the way, kami sempat membuat mini survey. Masih banyak kurangnya, lah, terutama dari menentukan pertanyaan. Insya Allah dari hasil survei tersebut akan kami perdalam lagi ke para responden. Aku senang, lho, waktu membagikan link survei ke teman-teman jadi menyambung silaturrahim bahkan ada yang menawarkan untuk membagikan ke circle-nya. Enggak menyangka dalam waktu 2 hari, dengan jam online terbatas, bisa terkumpul 58 responden.
Harapanku tentang Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di sini bukan hanya PAUD yang sekolah TK itu, lho. Itu hanya salah satu bentuk sekolah tepatnya sekolah formal. PAUD yang saya maksud dimulai sejak usia 0-6 tahun, bahkan dari kandungan karena pentingnya 1000 hari pertama kehidupan.
Kalau baru mengasuh anak dengan mendelegasikan ke sekolah PAUD atau TK (kira-kira usia 4-6 tahun), lalu bagaimana dengan anak ketika usia 0-3 tahun?
Kembali lagi ke orang tua sebagai madrasah utama anak karena interaksinya paling sering, paling awal. Sejak hamil, calon ayah dan ibu dapat memberikan stimulasi ke anak. Setelah bayi lahir, bukan hanya hanya menangis, pup, pipis, menyusu, dan tidur. Bayi juga perlu mendapat kasih sayang, diajak ngobrol, dipeluk, bermain bersama, dibacakan buku, dan sebagainya. Selengkapnya bisa cek indikator tumbuh kembang anak di jurnal kami.
Ketika ada teman dan keluarga yang menyarankan saya membuat TK, saya lebih suka orang tua yang belajar mengasuh anak. Jadi, yang sekolah itu orang tuanya. Butuh support system juga dengan para orang tua lain. Kalau hanya diberi materi, kurang efektif.
Model pembelajaran orang tua untuk pengasuhan anak usia dini ini saya jumpai di beberapa lembaga seperti mamaguru.co, jemarimu.id, dan Montessori Haus Asia. Dari segi biaya bisa dibilang premium. Adakah yang bebas biaya seperti program UNICEF? Hasil berselancar di situs UNICEF, pada 2016 lalu pemerintah New Zealand mendonasikan 2,8juta dollar Amerika untuk Early Childhood Education (ECE) di Kupang, NTT termasuk pendidikan bagi orangtua. Salut! Program ECE ini menargetkan anak usia 3-6 tahun. Semoga ya dapat diduplikasi ke berbagai wilayah di Indonesia dengan target usia 0-3 tahun juga.
Memang tidak ada sekolah formal untuk orang tua tetapi sudah zaman digital begini arus informasi kencang. Asal mau berusaha, insya Allah ada jalan untuk belajar menjadi orang tua yang lebih baik.
Tim SUHERO |
Jurnal Tim SUHERO Memahami Masalah Bersama Tim
Inilah jurnal tim kami untuk memahami masalah mengenai problem statement di bidang parenting. Enjoy watching, don't forget to like, subscribe, and give comment. Mohon masukkannya, ya!
#materi3
#memahamimasalahbersamatim
#ibupembaharu
#bundasalihah
#darirumahuntukdunia
#hexagoncity
#institutibuprofesional
#semestaberkaryauntukindonesia
Post Comment
Post a Comment
Hai!
Terima kasih banyak ya sudah berkunjung. Semoga artikel tersebut bermanfaat.
Bagaimana komentarmu? Silakan tulis di kolom komentar, bisa pakai Name/URL. Kalau tidak punya blog, cukup tulis nama.
Ku tunggu kedatanganmu kembali.
Jika ada yang kurang jelas atau mau bekerja sama, silakan kirim e-mail ke helenamantra@live.com
Salam,
Helena