Membangun keluarga itu bagaikan
membangun tim sepakbola. Ada kumpulan orang dengan tujuan bersama, nilai
bersama, bergerak dalam koordinasi, dan komunikasi. Komunikasi, lho. Bukan
sekadar bersuara. Bagaimana membangun suatu keluarga layaknya sebuah tim?
Inilah rangkuman seminar "A Home Team" pada milad Institut Ibu
Profesional (IIP) Tangerang Selatan.
A home team (pic. rawpixel) |
“Halo kawan, apa kabarmu?Senyum sana, senyum siniKedipkan matamu (ting ting)Tengok ke kanan, tengok ke kiriTepuk tangan, tepuk kakiCari yang lainnya”
Lagu ini menjadi pembuka seminar “A
Home Team” di Gedung Serba Guna Universitas Terbuka, Tangerang Selatan. Berkat
lagu ini saya tak merasa sendiri jauh-jauh terbang dari Jakarta ke Tangsel
karena dapat berkenalan dengan peserta lainnya lewat lagu tersebut. Abisnya gimana
ya, rada baper melihat rata-rata peserta datang berpasangan suami-istri. Hehehe…
Seminar ini menghadirkan dua
tokoh idola saya dalam dunia parenting yaitu Bu Septi Peni Wulandani dan Pak
Dodik Mariyanto. Mereka berbagi pengalaman membangun keluarga selama lebih dari
20 tahun hingga menghasilkan proyek keluarga yang dapat menginspirasi banyak
orang lewat Institut Ibu Profesional.
Semua Ibu adalah Ibu Bekerja
Tahun 1995 Pak Dodik melamar Bu
Septi dengan syarat, “Aku ingin anakku dirawat oleh ibunya sendiri, bukan orang
lain, termasuk oleh neneknya.”. Bu Septi hanya diberi waktu hingga hitungan
kelima. Dengan yakin Bu Septi menerima lamaran tersebut padahal SK PNS sudah
ditangan. Ia yakin dengan piliihannya karena menilai Pak Dodik seorang calon imam yang
punya tujuan.
Awal sebagai ibu rumah tangga
terasa berat karena IRT dianggap tidak memiliki pekerjaan. Iya ya, sampai
sekarang pun masih ada lho yang memandang IRT gitu doang kerjaannya. Kayaknya lebih
keren ibu yang bekerja di kantor dibanding IRT berdaster. Padahal keduanya
sama-sama punya peran penting.
Bu Septi menerima profesi barunya
sebagai ibu rumah tangga dengan membuat jadwal harian. Setelah pukul 7 pagi,
beliau menggunakan pakaian layaknya pegawai kantoran. Pukul 7 pagi hingga 2
siang digunakan untuk bermain bersama kedua putrinya, Enes dan Ara. Jika ada
tamu yang datang, ia menjelaskan ke tamunya bahwa sedang bermain bersama anak. Ia
menerima kunjungan setelah pukul 2 siang.
Kegiatan bermain bersama anak
seperti ini melahirkan berbagai metode pembelajaran seperti ABACABACA, JARITMATIKA,
hingga cikal bakal IBU PROFESIONAL. Masya Allah.
Baca juga: Hal Ajaib yang Terjadi pada Diri Seorang Ibu
Bu Septi menyadari seorang ibu rumah
tangga tidak hanya tukang bersih-bersih rumah atau tukang belanja. Ibu
merupakan manajer keuangan dan kesehatan keluarga serta manajer pendidikan
anak. Untuk itu, jadilah ibu rumah tangga profesional.
Pak Dodik mendukung usaha istrinya
dengan memberikan buku bacaan di pagi hari. Saat malam, Bu Septi diminta
mempresentasikan isi bacaan tersebut pada sang suami. Selain itu Bu Septi diuji
dengan dibuatkan kartu nama "ibu rumah tangga profesional". Ia kemudian
datang ke seminar-seminar di kampus untuk membagi kartu nama tersebut. Ketika berkenalan,
otomatis Bu Septi belajar mengenalkan apa itu ibu rumah tangga profesional. Di sinilah
keahlian berkomunikasi semakin terasah.
Dalam IIP, dikenalkan istilah ibu
bekerja. Ada ibu bekerja di luar dan ibu bekerja di ranah domestik.
Bersama founder Insitut Ibu Profesional Septi Peni Wulandani |
AKU + KAMU = KITA
Menyatukan dua insan dalam sebuah
pernikahan yang langgeng bukan hal mudah. Masing-masing memiliki Frame of
Reference dan Frame of Experience yang terbentuk bertahun-tahun sejak kecil. Frame
of Reference (FoR) terbentuk dari hasil interaksi dengan orang lain, buku bacaan,
dsb. Sedangkan Frame of Experience (FoE) dari hasil pengalaman hidup.
Perbedaan FoR dan FoE menyebabkan
perbedaan menyikapi sesuatu. Contohnya ketika menghadapi anak yang merengek
minta mainan. Ayah bilang tidak namun ibu mengiyakan. Hal ini akan
membingungkan anak dan bisa dimanfaatkan si anak untuk dekat ke ibunya saja
karena permintaannya cenderung dituruti.
Samakan pandangan dengan pasangan
untuk menghindari beda pendapat seperti di atas. Caranya lewat komunikasi
intensif kemudian buatlah aturan bersama yang disetujui keluarga. Kalaupun ada
perilaku pasangan yang tidak kita setujui, bicarakan baik-baik tidak di depan anak. Masuk kamar dulu
lah untuk menyelesaikan.
Selain menyamakan pandangan, Bu
Septi menghimbau untuk meminta maaf kepada anak sulung. Anak sulung biasanya
lahir ketika dalam keluarga belum terbentuk “KITA”. Orang tua masih fakir ilmu
dengan keadaan ekonomi yang belum stabil. Ah, saya baru memahami proyek Enes
Kusuma yang bertajuk #SaveSiSulung.
Tips Ngobrol dengan Pasangan dan Anak
Institut Ibu Profesional memiliki
mantra dasar untuk membentuk kata “KITA” dalam keluarga, yaitu:
- Banyak main bareng
- Banyak ngobrol bareng
- Banyak beraktivitas bareng
Semakin lama, ubah kata “banyak” menjadi
“banyakin”.
Mantra ini memang ampuh membangun
kedekatan keluarga. Kalau jarang berinteraksi, bagaimana bisa kompak?
Kemudian muncul satu pertanyaan
menarik dari peserta yaitu bagaimana cara ngobrol? Kayaknya remeh ya. Masa’
ngobrol aja perlu diajarin? Ngobrol juga ada tekniknya lho. Salah mengawali
obrolan, bisa-bisa ada yang ngambek.
Dalam keluarga Pak Dodik terdapat
forum mingguan bernama “Master Mind”
di mana semua anggota keluarga menceritakan kisah suksesnya minggu itu. Hanya ada
3 pertanyaan yaitu: apa kesuksesanmu minggu ini? Bagaimana bisa sukses? dan apa
rencana suksesmu minggu depan?. Dengan memulai topik positif seperti ini,
obrolan akan lebih lancar. Coba kalau topiknya tentang kekurangan pasangan,
waduh… perang dunia bisa terjadi.
Para peserta juga diajak membuat
Master Mind. Kami duduk melingkar kemudian menceritakan hal sukses yang diraih
minggu ini. Saya sendiri sukses sampai di lokasi seminar di Pondok Cabe tanpa
tersesat. Peserta lain ada yang berhasil bangunin anak tanpa menangis,
menyiapkan MP-ASI, dan pamitan kerja tanpa anak cranky. Alhamdulillah.
Dalam kelas
Bunda Sayang dipelajari “Komunikasi Produktif” dimana saat berkomunikasi bukan
hanya tentang suara. Suara hanya 7%, unsur lainnya yaitu intonasi 38% dan body
language 55%. Gunakan kalimat yang jelas kemudian klarifikasi sudah jelas atau
belum.
Kerja sama (pic. Anna Samoylova) |
Meredam Emosi
Sebagai manusia terkadang orang
tua kalut terbawa emosi. Tanpa sadar bisa kelepasan marah ke anak hingga
melukai hatinya. Luka itu tidak akan hilang tetapi kita dapat mencegah luka
berikutnya. Pak Dodik melatih meredam emosi dengan mengigit lidah. Jika berlaku
salah maka istighfar, meminta maaf, berjanji tidak akan mengulangi, serta
ngobrol tentang perasaan masing-masing.
Sedangkan Bu
Septi punya pengalaman menarik tentang hal ini. Kedua putrinya saat masih
balita pernah mengacak-acak tumpukan pakaian yang sudah disetrika. Beliau menurunkan
level emosinya kemudian ikut mengacak-acak pakaian tersebut. Anak-anak heran
melihatnya. Setelah selesai bermain, Bu Septi mengajak mereka merapikan pakaian
bersama-sama sambil pura-pura menjadi semut yang mengumpulkan gula. Hihihi, ada
aja idenya!
Baca juga: 4 Cara Ibu Bahagia Mengelola Emosi
Fokus pada Kekuatan
"Apakah anda yakin MENIKAHI
orang hebat?"
Dalam kelompok yang terdiri dari
dua orang, masing-masing menyebutkan kelebihan pasangan. Bagian yang ini makin
bikin baper ketika melihat respon peserta yang datang berpasangan. So sweet deh
ketika masing-masing melontarkan pujian. Tuh, kan, ternyata pasangan punya
banyak kelebihan. Peserta kemudian diminta menuliskan kehebatan istri dan
kehebatan suami di flipchart.
Rekan satu tim, Mbak Tantri dari IIP Tangsel |
Berbagi Peran dalam Keluarga
Sekarang udah tahu kehebatan
masing-masing, kan. Selanjutnya berbagi peran dalam keluarga. Peran di sini
tidak terbatas urusan dapur hanya untuk kaum wanita atau urusan cari duit hanya
untuk kaum pria. Tugas istri yang tidak dapat digantikan suami hanyalah
melahirkan dan menyusui.
Sebelum berbagi peran, jelaskan
apa saja peran dalam rumah tangga. Kemudian ambil peran, baik itu suami, istri,
dan anak. Selanjutnya jalankan peran dan apresiasi. Ini termasuk ketika anak
menjalankan peran, misal menyapu. Ketika hasil sapuan masih kurang bersih,
jangan dikoreksi di depan anak. Tunggu anak pergi kemudian sapu lagi. Tidak ada
evaluasi, hanya apresiasi.
Jika pasangan belum mau diajak
bekerja sama, mungkin selama ini kita hanya membagi beban. Cobalah berbagi kebahagiaan, bukan berbagi beban.
Contohnya kebahagiaan bermain dengan anak, menjadi mandiri, dan sebagainya.
Bagaimana dengan pasangan yang terlalu
cuek, kurang perhatian, atau tidak sesuai harapan? Kata Pak Dodik, selama sifat
pasangan tidak menyebabkan kerusakan alam, yaudah sih terima aja. Apa yang kita
berikan itulah yang akan kita terima. Jika ingin mendapat hal berbeda, maka
berikan hal berbeda. For things to change, I must change first.
Quality dan Quantity Time dengan Anak
Baik orang tua bekerja di ranah publik
ataupun di rumah, interaksi orang tua dengan anak sangatlah penting. Sekarang sudah
ada teknologi yang makin mendekatkan, so ga ada alasan lagi bahwa bekerja di
luar kota membuat sulit berkomunikasi dengan anak. Saat berjauhan, aktifkan
gawai untuk bangun kedekatan. Saat berdekatan, matikan gawai (TV dan HP) lalu
ikuti mantra dasar IIP.
Quality time dan quantity time
sama pentingnya. Interaksi membutuhkan kehadiran secara penuh, bukan hanya ada
secara fisik tetapi pikiran kemana-mana. Anak bisa membaca non-verbal, lho.
Ketika Pak Dodik diwisuda, ada
seorang ibu yang dipanggil maju ke atas panggung. Ibu tersebut bekerja sebagai
buruh tani. Ia seorang janda dengan 7 anak yang semuanya lulus dari 3
universitas terbaik di Indonesia dengan predikat cumlaude. Masya Allah. Bagaimana
ibu tersebut mengatur waktunya antara bekerja dengan mengasuh anak? Setiap pulang
kerja, beliau membersihkan badan kemudian mendatangi anak-anaknya satu persatu.
Tiap anak ia ajak ngobrol, bahkan pada anak yang sudah tertidur.
Bu Septi menambahkan hal yang
tidak pernah ditolak anak yaitu bermain, dongeng, hadiah, dan kejutan. Maka berikanlah
hal tersebut. Tak harus menuruti membeli mainan baru tetapi dapat juga bermain
bersama anak secara total. Jika merasa kesulitan menangani pekerjaan dan
mengasuh anak, buatlah manajemen waktu sehingga secara otomatis kebutuhan anak
akan terpenuhi.
"Kami, kamiKami, satu timMain barengNgobrol barengBeraktivitas barengBoom!"
Keluarga ibaratnya sebuah rumah
dengan pondasi kekuatan suami dan kekuatan istri. Rumah tersebut bertangga
komunikasi produktif, fokus pada kekuatan, berbagi peran, dan KITA. Pintunya terbuat dari indikator sukses. Pilar-pilar
penyangganya terdiri dari kekuatan anak-anak dan beratap nilai yang dipegang
teguh bersama.
Setelah seminar selesai, MC
memanggil tim Kids Corner yang telah menemani anak-anak selama para orang tua
mengikuti seminar. Aih lucunya anak-anak masuk ruangan membawa hasta karya bertema
“Under The Sea”. Jadi kangen SID di rumah, nih. Saya berjanji untuk semakin profesional
menjalani peran sebagai ibu rumah tangga profesional.
Sebuah tim bergerak terkoordinasi (pic. shwetah shankar) |
Terima kasih ya IIP Tangsel atas
undangannya! Terima kasih juga Ayah SID yang menemani SID selama Ibu sekolah mendaki
gunung, lewati lembah hingga sampai ke belahan bumi lain. Semoga ilmu ini
berkah.
Baca juga: Tempat Wisata di BSD
Komunikasi selalu jadi salah satu kunci penting dalam berhubungan dengan siapapu, ya. Apalagi dengan suami dan anak yang pastinya keluarga terdekat. Kalau komunikasi dengan mereka sudha baik, insya Allah rumah tangga pun berjalan dengan aman :)
ReplyDeleteSepakat, Mbak. Apalagi kita berinteraksi setiap hari dengan keluarga. Butuh komunikasi produktif.
DeleteSemua ibu adalah ibu bekerja. Setuju sis, dan aku salut banget sama ibu yg melepas karirnya demi keluarga. Salut juga sama cara kamu didik SID ��
ReplyDeleteAih makasih banyak ya, Sis.
DeleteOoo, kirain seminar a home team ini diikuti sama suami istri, Len.
ReplyDeleteMasyaAllah ya, Bu Septi dan Pak Dodik itu memang luar biasa. Nggak pernah bosen dengan kisah dan sharing-sharing mereka. Semoga kita bisa menerapkan juga di keluarga kita ya. Amin :)
Sebaiknya gitu, Mbak. Berhubung tempatnya jauh, aku datang sendiri. Peserta lain banyak yang datang berpasangan.
DeleteTulisanya ngena banget yaa,,pelajaran buat emak-emak kaya saya.
ReplyDeleteSama, tanteeee!
DeleteKeluarga itu ..komunikasi gak boleh putus..butuh pendekatan dari hati ke hati agar ..lebih harmonis..
ReplyDeleteNah, betul. Mbak Nova sering bahas tuh ya di blog.
DeleteAku barussaan aja menyelesaikan tantangan 12 level di kelas Bunda Sayang.
ReplyDeleteDan rasanya makin banyak tantangan yang terlewati, ghirah dalam membersamai anak makin berkurang. Terlebih karena mereka sudah makin dewasa dan kadang butuh privacy sendiri.
Jadi tulisan mba Helena mengingatkanku kembali tentang pentingnya beklerjasama di rumah. Bukan hanya sekumpulan orang yang datang dan pergi. Namun ada komunikasi dan kerjasama yang baik di sana.
Barakallahu fiikum, Mba Helena sekeluarga.
Wah, selamat ya Mbak udah lulus bunsay. Aku masih level 4. Selamat melanjutkan membersamai anak.
DeleteKarena itu sebisa mungkin kemanapun saya ada acara, anak saya bawa. Kalau gak bisa bawa anak, tidak apa, saya yang memilih tidak ikut dan memilih bermain saja dengan anak...
ReplyDeleteKalau acara seperti ini biasanya ada Kids Corner. Fahmi bisa main di situ sementara teteh ikut seminar.
DeleteWah rangkumannya lengkap sekali mba Helen. Berasa ikutan diacara itu. Terasa betul semangatnya untuk menemami anak. Bermain bareng. Bahkan bu Septi nerima tamu setelah jam 2 ya. Segitunya. Semoga bisa segera nyusulin senior di kelas Bunda Sayang. Dan terus berikhtiar menjadi Ibu Profesional. Amin
ReplyDeleteKeren semangatnya Mba.. Sampai rela jauh2 dari Jakarta utk ngikutin seminar parenting ini..
ReplyDeleteBetul mba, komunikasi itu kuncinya apalagi kalau terpisah jarak benar-benar harus dijaga. Pergi seharipun aku selalu kasih info ke Ibu ku sampai kirim lokasi dan foto hihi :p
ReplyDeleteIkutan Berantakin bikin bingung. Jadi itulah yang bikin anak berpikir dan untungnya ada ide merapikan
ReplyDeleteBergizi banget acaranya ya, gak sia2 terbang jaud ke Tangsel.
ReplyDeleteKomunikasi emang hal paling penting ya utk pasangan suami istri, juga ortu ke anak. Trus berkomunikasi pun kudu yg bener dan bisa dipahami semuanya TFS
Jdi Orang tua adalah intinya belajar terus ya, , bounding dn komunikasi intiny
ReplyDelete