copas abis dari blog sodara seperjuangan
iseng blog walking dan menemukan tulisan menakjubkan ini
untuk dipikirkan semua orang:
Selasa, 4 Mei 2010
Menunggu latihan untuk Pagelaran Seni Budaya, sengaja saya hampiri pedagang roti di pinggir area latihan. Terbesit keinginan mengobrol dengannya.
(ngomong-ngomong kenapa saya suka banget sih ngobrol sama pedagang? Mbok ya Pak Rektor ngono loh yang diajak ngobrol.)
“Cuma ada dua hal yang kita lakukan di dunia, neng. Memperjuangkan hidup, atau hidup untuk berjuang. Beda loh neng, kalo yang memperjuangkan hidup, kita mah bekerja terus untuk mencari uang, buat makan sendiri sama keluarga. Gitu aja terus neng, gak pernah berbagi buat yang lain. Beda lagi kalo hidup untuk berjuang. Dia mah hidup tuh untuk berbagi sama orang lain juga. Mencari ilmu neng, termasuk berjuang. Sama kayak neng sekarang di ITB kan mencari ilmu, kan ya?
Tinggal sekarang, ilmu yang bagaimana yang digunakan untuk berjuang. Itu juga beda loh neng. Kalau neng mencari ilmu di Teknik Industri, terus nantinya bekerja untuk perusahaan, apalagi perusahaan asing, terus dapat uang untuk makan sendiri dan keluarga, itu sama saja dengan neng memperjuangkan hidup.
Tapi coba kalau neng lulus terus bikin industri sendiri. Atau membantu menyebarkan produk Indonesia biar negara kita jadi terkenal di dunia, biar gak kalah sama produk dari Cina. Waah, itu baru yang namanya neng menggunakan ilmu untuk berjuang.”
Ini adalah obrolan paling bermutu yang pernah saya lakukan di sekitaran ITB dengan seorang pedagang. Ialah Pak Edo, pedangang roti lulusan SD yang sukses melobi pihak Ikatan Alumni ITB untuk memberikan beasiswa pada anaknya karena ia berkeinginan menyekolahkan anaknya di ITB. Pedagang yang ingin membuat usaha budidaya udang di Subang untuk membiayai sekolah dua anaknya yang lain, dan pedagang yang mengatakan hal paling keren sebagai penutup:
Kalau nanti udah lulus terus berusaha atau bekerja, jangan mengejar uang yang didapat, neng. Tapi coba kita berusaha dulu yang baik, bekerja dengan bagus, baru kita dibilang pantas dapat uang. Karena kalo ujung-ujungnya neng mengejar uang, ya balik lagi atuh jadi orang yang memperjuangkan hidup. Padahal kita harus apa coba neng?
berkata saya dengan mantap: “Hidup untuk berjuang, pak!”
“Naah, gitu atuh. Itu baru namanya anak ITB yang cerdas, neng!”
iseng blog walking dan menemukan tulisan menakjubkan ini
untuk dipikirkan semua orang:
Kalimat dari sang lulusan SD
22 08 2010Sambil mengunyah roti saya melakukan percakapan basa-basi dan keakraban dengannya, hingga satu pertanyaan yang mengubah alur obrolan malam itu.Gedung TVST ITB
“Neng, jurusan apa?”
“TI, Pak. Teknik Industri! Baru aja tahun ke-dua”
Selasa, 4 Mei 2010
Menunggu latihan untuk Pagelaran Seni Budaya, sengaja saya hampiri pedagang roti di pinggir area latihan. Terbesit keinginan mengobrol dengannya.
(ngomong-ngomong kenapa saya suka banget sih ngobrol sama pedagang? Mbok ya Pak Rektor ngono loh yang diajak ngobrol.)
“Cuma ada dua hal yang kita lakukan di dunia, neng. Memperjuangkan hidup, atau hidup untuk berjuang. Beda loh neng, kalo yang memperjuangkan hidup, kita mah bekerja terus untuk mencari uang, buat makan sendiri sama keluarga. Gitu aja terus neng, gak pernah berbagi buat yang lain. Beda lagi kalo hidup untuk berjuang. Dia mah hidup tuh untuk berbagi sama orang lain juga. Mencari ilmu neng, termasuk berjuang. Sama kayak neng sekarang di ITB kan mencari ilmu, kan ya?
Tinggal sekarang, ilmu yang bagaimana yang digunakan untuk berjuang. Itu juga beda loh neng. Kalau neng mencari ilmu di Teknik Industri, terus nantinya bekerja untuk perusahaan, apalagi perusahaan asing, terus dapat uang untuk makan sendiri dan keluarga, itu sama saja dengan neng memperjuangkan hidup.
Tapi coba kalau neng lulus terus bikin industri sendiri. Atau membantu menyebarkan produk Indonesia biar negara kita jadi terkenal di dunia, biar gak kalah sama produk dari Cina. Waah, itu baru yang namanya neng menggunakan ilmu untuk berjuang.”
Ini adalah obrolan paling bermutu yang pernah saya lakukan di sekitaran ITB dengan seorang pedagang. Ialah Pak Edo, pedangang roti lulusan SD yang sukses melobi pihak Ikatan Alumni ITB untuk memberikan beasiswa pada anaknya karena ia berkeinginan menyekolahkan anaknya di ITB. Pedagang yang ingin membuat usaha budidaya udang di Subang untuk membiayai sekolah dua anaknya yang lain, dan pedagang yang mengatakan hal paling keren sebagai penutup:
Kalau nanti udah lulus terus berusaha atau bekerja, jangan mengejar uang yang didapat, neng. Tapi coba kita berusaha dulu yang baik, bekerja dengan bagus, baru kita dibilang pantas dapat uang. Karena kalo ujung-ujungnya neng mengejar uang, ya balik lagi atuh jadi orang yang memperjuangkan hidup. Padahal kita harus apa coba neng?
berkata saya dengan mantap: “Hidup untuk berjuang, pak!”
“Naah, gitu atuh. Itu baru namanya anak ITB yang cerdas, neng!”
Post Comment
Post a Comment
Hai!
Terima kasih banyak ya sudah berkunjung. Semoga artikel tersebut bermanfaat.
Bagaimana komentarmu? Silakan tulis di kolom komentar, bisa pakai Name/URL. Kalau tidak punya blog, cukup tulis nama.
Ku tunggu kedatanganmu kembali.
Jika ada yang kurang jelas atau mau bekerja sama, silakan kirim e-mail ke helenamantra@live.com
Salam,
Helena