Kamu Perlu Tahu |
Besok mau ke
desa suku Tolare*. / Hahaha, eh ada?
/ Mereka tinggal di atas gunung, jalan kaki 1 jam. Kita ke sana dengan dokter,
perawat, dan mahasiswa KKN untuk penyuluhan kesehatan. Are you sure wanna join?
/ Oke siap!
Respon
pertama saya waktu diajak Ms. CNL adalah ketawa. Kenapa? Memangnya ada ya suku
Tolare? Dalam bahasa Kaili (bahasa daerah Palu), tolare artinya ndeso alias
udik. Wah gimana ya penduduk di sana? Lumayan ada kegiatan yang berbeda untuk
weekend ini.
Sabtu 21
April 2012 - tepat ulang tahun ibu Kartini – saya, CNL, dan rombongan dari
puskesmas di daerah Donggala Kodi menuju ke daerah Salena dengan menaiki motor.
Ada juga 1 mobil yang membawa peralatan kedokteran dan obat-obatan. Awalnya
sempat kikuk karena salah kostum. Anggota yang lain simple menggunakan celana
olahraga dan sandal jepit sedangkan kami berdua memakai pakaian seperti akan
pemotretan. Hehe..sekalian hunting foto di atas gunung. Oh ya bagaimana kami bisa
ikut dalam rombongan yang tidak kami kenal ini karena mahasiswa yang sedang
melakukan KKN salah satunya adalah adiknya CNL. Nebeng dikit bolehlah..
Sampai Salena
jalanan menjadi sempit, berbatu, dan naik turun. Kendaraan diparkir di lahan
yang lumayan luas untuk menampung beberapa motor. Selanjutnya perjalanan
dilanjutkan dengan berjalan kaki naik naik naik ke puncak gunung. Jalanan
mendaki dan berbatu dengan beberapa tikungan tajam. Lumayan olahraga gratis.
Kami sempat berhenti untuk istirahat, menenangkan irama jantung yang mulai
berpacu cepat karena kelelahan. Bila merasa capek, kami menyemangati diri
dengan berteriak, “Untuk Indonesia Mengajar!”. Hehe, seakan-akan kami ini
pasukan @pengajarmuda yang dikirim untuk mengajar di sekolah sana. Semangat kami
bertambah setiap kali berpapasan dengan penduduk lokal yang “turun gunung”
untuk bekerja. Ada yang pakai alas kaki seadanya, ada yang berjalan santai
dengan telanjang kaki. Mereka menyapa kami, “Selamat pagi” sambil tersenyum
memperlihatkan deretan gigi merah karena nginang (mengunyah daun sirih).
Begitu sampai
di komplek rumah penduduk di desa Wana, rasa lelah lenyap dan berganti dengan
takjub. Desa ini begitu tinggi di atas gunung. Saya bisa melihat rumah-rumah
yang tampak kecil di Salena yang kami lewati tadi. Udaranya tidak panas dengan
angin sepoi-sepoi. Di Wana tinggal sekitar 44 kepala keluarga. Rumah dan
bangunan di sana semua dari papan kayu atau besek. Ada 1 bangunan tembok kokoh
yaitu kamar mandi umum.
Pemeriksaan
kesehatan dilakukan di gereja yang sebenarnya berbentuk seperti rumah panggung.
Bahkan saya tidak menyadari itu gereja karena bentuknya sangat berbeda dengan
gereja seperti di kota. Beberapa papan kayu di gereja sudah berlubang dan saya
hampir salah injak. Sampai di sana, warga sekitar diajak untuk berkumpul di
gereja tsb untuk diperiksa, ditimbang, dan diberi obat. Sebagian malu-malu dan
hanya duduk di pojokan. Masuk ke sana, I
feel so strange, mereka menggunakan bahasa Kaili yang tidak saya mengerti.
Ini saya lagi di mana ya?
Kids in Wana |
Saat anak-anak
ini dikumpulkan di sekolah, kuku mereka diperiksa satu-persatu. Yang kukunya
panjang dan kotor akan dipotong. Untuk yang kukunya sudah dipotong diberi
permen sebagai hadiah. Mereka diingatkan kembali untuk memakai alas kaki,
mandi, dan menyikat gigi. Saat ditanya mana sikat gigi yang telah diberi
sebulan yang lalu, tidak ada yang punya. Entahlah kemana sikat gigi itu. Kalau
kata guru di sana, mungkin sikat giginya untuk menyalakan api sebagai pengganti
kayu bakar X_x. Pada akhirnya kelas menjadi sepi dan sekolah pun bubar karena
anak-anak sedang diperiksa dan diberi obat cacing di gereja. Menurut guru di
sana, sekolah ini sebenarnya telah mendapat anggaran dari pemerintah untuk
dibangun menjadi lebih layak. Namun para vendor mundur satu persatu karena
lokasinya yang sulit dijangkau untuk membawa alat dan bahan untuk membangun
sekolah. Buat saya, melihat mereka datang ke sekolah merupakan suatu hal yang
istimewa. Di tempat yang jauh dari perkotaan, minim fasilitas, mereka masih mau
sekolah. Mungkin sekolahnya hanya beberapa jam dengan pelajaran ala kadarnya,
yang penting sekolah! Saya membayangkan program Indonesia Mengajar yang
diprakarsai @AniesBaswedan dengan mengirimkan para sarjana ke daerah terpencil
untuk mengajar selama satu tahun. Tantangan yang dihadapi luar biasa dengan
keterbatasan fasilitas dan bahasa yang belum tentu penduduk lokal mengerti
bahasa Indonesia.
Sekolah Alam |
Setelah dua
jam berada di Wana, saatnya kami turun gunung. Yeay! Perjalanan yang mengerikan
karena jalanan yang terjal. Saya sempat terpeleset namun bisa segera
menyeimbangkan diri. Perjalanan turun
lebih cepat karena tidak banyak beristirahat meski lutut ini gemetar
menahan tubuh. Di jalan kami bertemu penduduk lokal yang sedang beristirahat.
Ternyata mereka sedang melebarkan jalan atas arahan pendeta supaya kalau ada
orang bawah mau naik bisa lebih mudah membawa barang-barang. Sampai di sungai
bawah, kami mendinginkan kaki sejenak. Aliran sungai yang tidak deras dan air
yang jernih membuat refresh setelah perjalanan dari Wana. Sampai kembali di Salena, ambil motor, dan
meluncur ke kota Palu.
Saluuut.
ReplyDeleteWah, kebetulan adik saya sedang di Parigi, Sulteng juga sekarang, Mba.
Sedang dalam program sarjana mendidik (sejenis indonesia mengajar itu, tapi ini program pemerintah). Semoga anak- anak Indonesia ini berkesempatan belajar banyak. aaamin.
Wah di Parigi ya. Dari Palu harus lewati Kebon Kopi yang jalannya seperti roller coaster. Adiknya hebat deh mau mengabdi untuk pendidikan negara. Salam yaa
DeleteSemoga terus lahir generasi muda Indonesia yang peduli pendidikan. Seperti mengikuti program ini misalnya. Karena dg menjadi pengajar salah safu bukti bahwa kita peduli dan ikut turun tangan di lapangan. Semangat terus, mbak!
ReplyDeleteAmin... sekarang program seperti ini semakin banyak macamnya. Ga hanya pendidikan tapi juga kesehatan.
DeleteKereeeen mbaa..
ReplyDeleteMelihat tantangan yang luar biasa unik dan challenging seperti yg uraikan di atas. Terkadang tricky ya Mba. Mau nggak mau kita sendiri yang menyemangati diri sendiri, salut untuk mereka (Mba Helena nih keren pisan) yang mau meluangkan waktunya.
ReplyDeleteMenterinya ganti, program ini masih ada nggak ya?!
Thank you mba Nining. Jadi makin semangat membangun bangsa melihat kondisi pendidikan yang masih bolong-bolon gini.
DeleteIndonesia Mengajar masih ada kok dengan format yang berbeda.
Syarat utk ikut Indonesia Mengajar apa yaa, mba..?
ReplyDeleteMashallah...ilmuny bermanfaat sekali.
Eh saya cuma ikut rombongan puskesmas aja. Bukan ikut program IM-nya.
DeleteWaduh, sikat giginya digunakan untuk menyalakan api? Kesadaran akan pentingnya kesehatan, masih kurang ya? Untung saja, masih banyak relawan yang mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan masyarakat yang terpencil. Semoga programnya terus berlanjut ya...sukses untuk Mbak Helena dan kawan-kawan.
ReplyDeleteHihi...iya buat bantu kayu bakar eh pake sikat gigi
DeleteWah salah satu sisi potret kehidupan anak bangsa yang masih ada di kondisi keterbatasan.semoga banyak pejuaang sosial seperti timmu yg hebat dan empati memajukan nasib sebangsa dan setanah air.salut mbk
ReplyDeleteSalut banget mbaaa.. Aku kagum bgt dgn temen-temen yg join program seperti ini. Di tengah kesibukan masih bisa menyempatkan berbagi ilmu. :)
ReplyDeleteTernyata pemerintah nggak selamanya diam, nggak kayak yang selama ini diasumsikan publik. Justru vendornya yang mundur. Semoga segera ada kemudahan akses. :)
ReplyDeletesalut sama kamu! Dengan medan yg sulit seperti itu tetap berani ke sana... Kegiatan ini apakah akan jadi rutin ?
ReplyDeleteIya rutin program puskesmasnya
Delete